MITA/CARI

Senin, 22 Februari 2010

ADAT MENCONTEK


ADAT MENCONTEK

KEBIASAAN MENCONTEK DALAM MASYARAKAT INDONESIA
Sekitar tahun 1998 ada sebuah peristiwa yang mungkin juga sudah lazim dilakukan diberbagai sekolah di Indonesia. Seminggu sebelum EBTANAS dimulai Bapak Kepala sekolah kami mulai mewanti-wanti kami agar segera mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian kelulusan (EBTANAS). Yang anehnya, persiapan yang dimaksud kepala sekolah kami bukannya diajak kami untuk belajar lebih serius, tetapi bagaimana kami membuat strategi untuk dapat lulus EBTANAS. Bapak Kepala Sekolah mengajarkan kami cara membuat kopean (catatan kecil), kode tangan untuk memudahkan teman mengetahui jawaban ujian, bahkan yang lebih mengejutkan lagi, Bapak Kepala sekalah menawarkan kami untuk membayar atas jawaban setiap Mata Ujian kepada siswa tertentu yang diaggab pandai dalam mata pelajaran tertentu pula. Bayarannya pun tidak terlalu tinggi, hanya Rp 10.000/mata ujian. Tentu ini sangat menjanjikan.
Bapak Kepala Sekolah juga mengatur posisi tempat duduk siswa, siswa pandai ditempatkan ditengah, agar memudahkan dalam membagi jawaban kepada teman-temannya. Sementara pengawas ujian yang biasanya berasal dari sekolah lain disibukkan dengan membaca Koran, atau berpura-pura tidak tau kalau sebuah kecurangan sedang terjadi ditempat ia bertugas. Sementara meja piket polisi dan pemantau dari pihak luar diletakkan ditempat yang berjauhan dari ruang ujian. Bahkan polisi tidak dibenarkan untuk memantau langsung keruang kelas dengan alasan siswa akan menjadi trauma.
Semua ini berani dilakukan atas nama prestasi sekolah dan Kepala Sekolah serta guru-guru yang bersangkutan. Bukankah tingkat persentasi kelulusan pada sebuah sekolah merupakan martabat sekolah atau pimpinan sekolah, wallahu ‘alam. Sekolah yang tingkat kelulusannya sedikit dianggab sekolah yang gagal, sebaliknya sekolah yang tingkat kelulusannya tinggi adalah sekolah yang berhasil?
Ketika sejumlah LSM pemantau menguak kecurangan-kecurangan ini dimedia massa, malah mendapatkan berbagai ejekan dan cemoohan. Tercatat sebanyak 14 orang guru dimedan dipecat karena megadukan kecurangan ini ke meja hukum. Mereka dianggab memfitnah dan mengatakan sesuatu dengan tidak ada barang bukti.
Pihak Dinas Pendidikan sendiri membela sekolah-sekolah yang dianggab melakukan kecurangan dengan segala cara. Mereka menganggap pernyatan LSM hanyalah mecari muka dan memburu-burukkan Dinas pendidikan atas kepentingan tertentu. Ini semua dilakukan oleh Dinas Pendidikan tak terkecuali hanya atas nama “prestasi pendidikan”. Jika persentasi kelulusan lebih banyak disetiap sekolah dibawah naungan Dinas Pendidikan, berarti kinerja Dinas Pendidikan selama ini diangab sukses besar, dan jabatan “Kepala Dianas” yang disandang pun dapat dipertahankan sampai akhir massa.
Maka tak heran kalau ada kebijakan yang mengejutkan yang ditetapkan Dinas Provinsi pada ujian kelulusan (UN) tahun ini di Aceh. Setiap sekolah hanya ada satu orang polisi, satu orang pemantau local (yang biasanya dari kalangan mahasiswa dari universitas setempat), dan tidak boleh ada pemantau dari LSM non pemerintah seperti PGRI, Gam-GB dan lain-lain. Peraturan ini tentu saja memberi peluang besar bagi setiap sekolah untuk melakukan praktek kecurangan. Tak heran kelulusan untuk tahun pelajaran kali ini mungkin diatas rata-rata. Kita lihat aja kejutannya, yaitu prestasi “pendidikan Berbasis Kecurangan” di Aceh. Tapi mudah-mudahan masih ada sekolah atau Kepala Sekolah yang takut Hari Kiamat. Sehingga ia tetap berpegang pada hakikat kebenaran, insya Allah.
Kebiasaan mencontek lain juga dapat kita lihat pada UMPT yang diselenggarakan oleh universitas-universitas Negeri. Prilaku aneh ini berlangsung sampai pada ujial final Semester, bahkan tugas akhir dalam membuat karya tulis (Skripsi)
Kecurangan tingkat mahasiswa sudah dimulai dari sejak UMPTN, biasanya sejumlah klup organisasi tertentu telah menyediakan Bimbingan Belajar (Bimbel) khusus untuk anak-anak SMA yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Bimbingan belajar ini berlangsung selama satu bulan, tiga minggu, atau yang lebih instan lagi hanya beberapa hari menjelang pelaksanaan ujian dimulai.
Kalau Cuma hanya mengulas soal-soal yang menurut prediksi akan keluar dalam UMPTN mungkin Organisasi Bimbingan belajar ini masih dianggab wajar. Tapi yang terjadi justru hal yang sangat mengagumkam. Pengelola bimbel biasanya pada hari pertama belajar akan melakukan pul up. Pada ujian ini pihak pelaksana akan dapat mengetahui mana calon mahasiswa yang pintar dan mana pula agak bodoh. Nah, berdasarkan hasil ini mereka akan membikin kelompok-kelompok belajar yang didalamnya terdiri dari sejumlah siswa bodoh dan siswa pandai. Bisanya dalam satu kelompok terdiri dari 25 s/d 30 orang, sesuai dengan jumlah pengikut ujian dalam satu ruangan UMPTN.
Panitiapun telah mengatur no urut masing-masing mereka, dan ini berlanjut sampai ketika membeli formulir, sehingga di diharapkan ketika diruang UMPTN sesungguhnyapun dapat tersusun demikian sesuai dengan naskah ujian yang juga sudah diatur pihak Bimbel.
Pihak panitia bimbelpun telah mengatur siswa mana yang bertugas menjawab soal UMPTN kemudian membagikan kepada teman-temannya dalam satu kode naskah. Untuk menngurangi kecurigaan pengawas, Pihak bimbel juga telah mengajari bagai mana cara membagi-bagikan hasil ujian dengan tehnik yang sangat menakjubkan, misalnya dengan kode jari, kerlipan alis mata, atau dengan tehnik lain yang sungguh sangat tersusun rapi. Apa bila ketangkap basah, misalnya pengawas UMPT kedapatan siswa sedang menyalinkan jawaban dari secarik kertas ke lembaran jawabannya, maka tak sungkan secarik kertas kecil itu segera dimasukkan kedalam mulutnya lalu ditelan. Dengan cara ini pengawas tidak bisa membuktikan kecurangan ditempat ia mengawas dan sebaliknya siswa tadi terlepas dari hukuman.
Apakah kebiasaan menyontek untuk tingkat mahasiswa sudah berhenti sampai disini?
Masih ada dua proses kecurangan besar yang akan terus dilakukan. Yang pertama mungkin ketika menghadapi ujian final, ketika musim ujian filal tiba, biasanya sebahagian mahasiswa belajar sangat serius siang malam, siang mereka ikut final, malamnya belajar sambilan membuat konsep. Musim final tidak ada bola, nonton film, kerja, atau apel dirumah sang kekasih. Mahasiswa mengerti betul arti angka A, B, C, atau D yang mereka peroleh dalam enam bulam sekali. Apabila D atau E berarti mereka harus mengulang kembali pada semester yang akan datang. Mereka sangat paham tentang uang yang mereka keluarkan, waktu yang mereka habiskan, bahkan diantara mereka harus peras keringat banting tulang, tangan jadi kaki atau kaki jadi tangan demi keberhasilan kuliah.
Karena itulah segala cara mereka tempuh untuk mendapat nilai tertinggi. Misalnya dengan datang keruangan ujian lebih cepat, lalu mereka memilih tempat duduk yang paling belakang supaya lebih leluasa membuka kopean, atau dengan dengan cara duduk didekat teman yang agak pandai, lalu mencohtoh jawabannya. Hal ini tidak lagi mereka anggab kecurangan tetapi sebuah keniscayaan.
Kebiasaan menyontek yang paling akhir yang dilakukan mahasiswa adalah dalam karya tulis akhir mereka (skripsi). Mahasiswa yang agak pintar akan mencari judul skripsi pada universitas lain melalui internet. Apa bila proposal judul diterima oleh dosen, langkah selanjutnya adalah mengkopi paste tulisan orang lain yang ada diinternet kemudian mengedit nama universitas, bidang studi, tempat penelitian, tanggal dan lain-lain yang dianggab perlu.
Untuk mengurangi kecurigaan dosen pembimbing mereka akan mengubah setiap paragraf awal dengan bahasa mereka sendiri. Mereka pun pura-pura benar-benar telah melakukan penelitian akurat dengan menunjukkan data-data hasil penelitian yang mereka peroleh. Biasanya cukup dengan menggantikan data-data lapangan yang ada diinternet dengan data-data yang mereka peroleh. Ini memberi kesan seolah-olah mereka betul-betul telah melakukan kerja sesungguhnya.
Bagi mahasiswa yang orang tuanya kaya, mereka akan mengupahkan orang lain untuk menyelesaikan karya tulisnya. Hanya denga dua jutaan mereka telah berhasil mengikuti sidang.
Lalu bagaimana pula dengan kecurangan-kecurangan yang dilakukan calon CPNS?
Tak jauh beda dengan cara kerja ujian final mahasiswa, Cuma colon CPNS biasanya lebih agak leluasa dalam mencontek dengan teman-temannya, karena pengawas pada ujian CPNS biasanya lebih santun, ramah, tidak segarang dosen ujian final mahasiswa. Bahkan tidak tertutup kemunglkinan dalam satu ruang ujian hasinya menjadi sama. Lalu dimana standar kelulusannya? Standar kelulusannya adalah uang, saudara, sekampung, atau teman yang berjasa. Wallahu’alam.
Bagaimana agama menanggapi masalah ini?
Mungkin kita masih ingat kisah Abu Bakar Siddiq harus memuntahkan kurma yang dimakannya karena berasal dari sumber tidak jelas. Atau Umar Bin Khatab mencuci tangan istrinya dari bau minyak kesturi yang akan dibagikan untuk orang miskin. Atau nabi tidak bisa tidur karena masih ada sisa kurma yang belum diberikan untuk yang berhak. Kata nabi kita, “serkerat daging yang kita makan akan menjadi darah, darah yang haram akan dibakar dineraka…”
Dalam kontek ini, mencontek sama dengan barang haram, yang akan membawa seseorang keneraka, artinya mencontek adalah sesuatu yang melanggar hukum agama dan juga hukum Negara.
Konon di Cina, mencontek adalah sesuatu yang tabu. Hukuman berat akan dijatuh kepada orang yang ketahuan mencontek, misalnya seperti apa yang digambarkan dalam sebuah film pendidikan yang disiarkan oleh Stasiun TV Mscical Movie. Dalam film ini digambarkan seorang anak harus dipukul bokongnya dengan rotan karena ketahuan mencontek. Anehnya ketika kasus ini dilimpahkan kepengadilan, tuan hakim membenarkan tindakan pihak sekolah. Ini sangat berbeda dengan dinegara kita, dimana budaya mencontek sudah menjadi sebuah kenistayaan.
Maka tak heran budaya koropsi merajalela hampir disetiap instansi, baik dilembaga pemerintahan maupun di lembaga indenpenden. Apa hubungannya antara kebiasaan mencontek dan budaya koropsi? Anda sendirilah yang dapat menjawabnya.
Lalu apa pula efek lain yang dilahirkan dari bahaya mencontek?
Orang akan malas belajar, berfikir, dan merenung. Orang yang suka mencontek hanya memerlukan yang instan-instan saja. Tidak percaya diri, sebab orang lain selalu menjadi harapan keberhasilannya.

Label:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar